Bahlul adalah seorang gila. Begitulah kesan para pedagang di pasar
Rupanya, akibat ucapannya itu Bahlul kemudian diuji oleh Allah. Sesudah tubuhnya semakin berdarah dan tak karuan akibat lemparan batu anak-anak tersebut, Bahlul menyeret tubuhnya menuju Bashrah, sambil berharap penduduk Bashrah lebih bisa bersikap ramah terhadap dirinya.
Hari sudah tengah malam ketika Bahlul tiba di pintu gerbang
Sayang, keesokan harinya, logika Bahlul malah mencelakakannya. Ternyata tubuh berselimut itu adalah mayat seseorang yang berlumuran darah. Tentu saja, keesokan paginya Bahlul dibawa ke kantor polisi karena dituduh membunuh orang tersebut. Sebagai pendatang baru tentu saja Bahlul tak bisa mencari saksi yang meringankannya. Bahlul segera dikirim ke tiang gantungan.
Esok harinya, di alun-alun
Terkejut dengan keanehan cerita si pembunuh, sang Hakim menoleh pada si Bahlul dan berkata, "Algojo bercerita bahwa kau berdo'a sebelum ekesekusi dilakukan dan si pembunuh itu lalu mengaku.... Apa yang membuatmu yakin bahwa engkau tak bakal digantung?"
Bahlul, masih dengan sikap seperti orang gila, berkata, "Ketengangan hamba bukanlah karena merasa yakin bahwa hamba tidak akan digantung. Hamba yakin bahwa apa pun yang telah ditetapkan Allah adalah yang terbaik, dan memang demikian seharusnya. Jadi, hamba benar-benar tunduk dan pasrah pada kehendak-Nya. Pada gilirannya, hal ini membuat hamba demikian damai dan tenang."
Tentang do'a yang dia panjatkan, inilah penuturan si Bahlul, "Wahai Tuhanku, aku tidak bersalah dan hampir saja mati karena kejahatan yang tidak kulakukan. Akan tetapi, aku tidak sedih, marah atau benci kepada-Mu. Engkau mengetahui siapa yang membunuh dan yang terbunuh, Engkau juga mengetahui mengapa segala sesuatu terjadi. Kini, aku sadar bahwa Engkaulah yang menuntunku pergi meninggalkan
Itulah Bahlul, si gila akan Allah, yang berkata pada sang Hakim, "Jika Dia memilih memberi hamba racun pahit dan mematikan, maka hamba akan menerimanya sebagai gula yang manis dan anugerah dari-Nya."
Fariduddin Athtar, yang menuturkan kisah di atas dalam "Mushibatnama", hendak melukislan kepada kita contoh akan kepasrahan seorang hamba --sebuah kepasrahan yang sering dianggap sebagai kegilaan. Literatur sufi menyebut bahwa si Bahlul ini bernama Abu Wahib ibn Amr dan wafat pada 812 Masehi.
Begitu melegendanya kisah Bahlul sehingga sejumlah daerah di
Orang boleh tak setuju akan sikap "cinta-pasrah" (atau "gila") yang ditempuh Bahlul. Silahkan saja....bukankah banyak jalan mendekati Tuhan ? Dan Bahlul telah memilih satu jalan itu, sementara masih tersedia sekian banyak jalan, yang kesemuanya itu berujung pada Dzat Allah swt.
Wassalam,
No comments:
Post a Comment