Wednesday, February 21, 2007

Masjid Azizi, Peninggalan Sejarah dari Langkat


Masjid Azizi Tanjungpura memiliki sejarah dan kisah yang cukup dikagumi hingga kini. Bangunan masjid ini adalah simbol abadi yang merekatkan berbagai perbedaan suku, ras dan budaya.

Akhir pekan lalu, wartawan Global, M Isya melakukan perjalanan ke masjid yang berusia 105 tahun ini. Jarak antara Masjid Azizi dengan ibukota Kabupaten Langkat lebih kurang 20 km. Atau sekitar 100 km dari pusat Kota Medan. Masjid ini terletak di tepi jalan lintas Sumatera yang menghubungkan Medan dengan Banda Aceh.

Masjid Azizi berdiri di atas tanah seluas 18.000 meter persegi. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (1897-1927) dan diresmikan pada 12 Rabiulawal 1320 Hijriah atau tepatnya 13 Juni 1902. Mesjid ini seolah mewakili dan menunjukkan sebuah keterbukaan budaya Melayu Islam pada masa itu.

Keterbukaan itu tercermin dari ornamen-ornamen mozaik dan batu pualam bernuansa ala Timur Tengah (Timteng), dikombinasikan dengan corak Melayu, Persia dan Tiongkok yang sangat kental. Nuansa arsitektur Tiongkok bisa dilihat dari menara yang menjulang di pelatarannya. Demikian juga pada pintunya, juga terdapat ukir-ukiran Tiongkok, mirip yang terdapat di kelenteng.

Sementara itu, bangunan utama Masjid Azizi merupakan perpaduan arsitektur bercorak Timur Tengah dan India yang megah dengan banyaknya kubah. Ada lebih dari sembilan kubah kecil yang terdapat pada atapnya. Di bagian dalam masjid, terdapat ruangan berbentuk segi sembilan dengan sejumlah tiang yang menjulang langsung ke atas. Keanggunan dari masjid tua ini bahkan lebih indah dari kediaman istana sang sultan sendiri.

Pada masa itu oleh sang Sultan Tengku Abdul Aziz menanamkan konsep pembangunan dengan memadukan lima unsur kekuatan sebagai filosofinya yaitu kekuatan umara, kekuatan ulama, kekuatan cerdik pandai (zuamah), kekuatan orang kaya harta (aghniyah) dan kekuatan do'a (fukara).

Dari penuturan Koordinator Umum Kenaziran Masjid Azizi melalui Khadam/juru kunci masjid, Bahrum, menyebutkan, arsitek masjid adalah seorang berkebangsaan Jerman yang tidak diketahui namanya. Para pekerjanya banyak dari etnis Tionghoa. Sedangkan bahan bangunan didatangkan dari Penang Malaysia dan Singapura dengan menggunakan kapal ke Tanjungpura. Pada masa itu sungai Batang Serangan masih berfungsi baik dan kapal-kapal dengan tonase 600 ton dapat melayarinya.

Masjid itu memang dibangun saat Kesultanan Langkat kaya raya, karena hasil perkebunan dan pertambangannya. Proses pembangunan masjid ini sendiri berlangsung selama 18 bulan dengan biaya 200.000 ringgit. "Masjid ini terkenal hingga ke luar negeri. Banyak orang dari Malaysia, Singapura dan Brunei yang singgah di sini untuk salat dan berdoa," kata Bahrum.

Makam T Amir Hamzah
Saat kita memasuki gerbang pagar beton Masjid Azizi dan berjalan sekitar belasan meter ke arah sebelah kiri, tampak menjulang gagah menara masjid setinggi sekitar 60-an meter. Masjid ini berikut perkarangannya mampu menampung 2.000 orang jemaah. Sedangkan sebelah kanan terhampar halaman rumput luas yang di tengahnya terdapat empat makam pahlawan Langkat yang masih berdarah Sultan yaitu T Harun Azis Bin Sultan Abdul Aziz Abdul Djalil Rachmad Shah (wafat saat revolusi tahun 1946), T Abdurrahman (wafat 1909), T Soelaiman bin Tengku Syahruddin bin Tengku Al Haj Aminulah dibunuh saat huru-hara 1946 dan di sampingnya T Rusian bin T Ahmad Alfatiha.

Sedangkan di halaman samping kanan masjid juga terlihat kuburan sang pujangga “religius” sekaligus pahlawan bangsa terkenal, T Amir Hamzah. Makam ini kondisinya cukup terawat. Tengku Amir merupakan sastrawan angkatan Pujangga Baru yang dikenal lewat beragam karyanya antara lain Buah Rindu, Bhagawad Gita dan Nyanyi Sunyi. Selain dikenal sebagai sastrawan, Amir Hamzah juga dikenal sebagai ahli sufi, yang bekas-bekasnya bisa dilihat dari banyak karangannya.

Di sebelah kiri kuburan keluarga T Amir Hamzah, kita pun melewati pagar tembok dan begitu memasuki sisi kanan masjid, bersemayam tiga makam dari Kesultanan Langkat yang memerintah negeri Melayu. Mereka yaitu Tengku Sultan H Musa, Tengku Sultan Abdul Aziz dan Tengku Sultan Mahmud yang dikelilingi makam anak dan cucunya. Semua makam ini putih bersih bagaikan kapas dan sudah dipagar khusus.

Festival Azizi

Setiap tahun wafatnya (haul) Tuan Guru “Besilam Babussalam” Syeikh Abdul Wahab Rokan, tercatat pada penanggalan tahun Arab/Hijriyah, masjid ini berfungsi sebagai wisata religius umat Islam di seluruh tanah air bahkan umat Islam dari negara-negara Asia Tenggara, seperti, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam dan Thailand. Syeikh ini dikenal sebagai ulama yang menyebarkan “Tariqat Naqsabandiah” yang memilki pengikut tersebar dari Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi hingga negara-negara di Asia Tenggara tersebut.

Jatuhnya peringatan haulnya syeikh itu juga bertepatan dengan event/Festival Azizi yang rutin setiap tahunnya diselenggarakan di masjid ini. Perlombaan-perlombaan pada festival ini seperti marhaban, berzanzi, azan, pemilihan da'i cilik, baca puisi religius juga pameran dan bazar. Disaksikan para pengunjung atau wisatawan dalam dan luar negeri yang tumpah ruah datang ke Kota Tanjungpura.

Festival bernuansa Islami itu sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Masjid Azizi dan sejarahnya. Hanya karena bertempat di Masjid Azizi, maka disebut Festival Azizi.

Perawatan
Keanggunan dan keindahan Masjid Azizi ini memang tak diragukan lagi. Pelancong dari berbagai negara menjadikan Mesjid Azizi sebagai tempat wisata rohani. Sayang keberadaan masjid ini masih belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Seperti dikatakan Bahrum, pihak kenaziran berharap pemerintah Kabupaten Langkat diharapkan dapat merenovasi kembali masjid berusia lebih seratus tahun ini.

“Bantuan terakhir yang diterima kenaziran dari Pemkab Langkat lima tahun lalu. Jumlahnya Rp 200 juta untuk pengecatan Masjid Azizi. Kita sudah ajukan permintaan bantuan lagi, namun sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan direalisasikan,” ucap Bahrum.

Kepala Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Langkat H Abdul Aziz mengakui sampai saat ini, Pemkab belum berencana memberi bantuan perawatan pada Masjid Azizi. Menurut Aziz, sejak tahun 1981 hingga 2001 sejumlah bantuan telah diterima baik dari Pemkab, Pemprovsu dan Pemerintah Pusat maupun donatur lainnya.

“Sejauh ini memang belum ada rencana untuk merenovasi bangunan masjid. Karena kami menilai kondisi masjid utama masih bagus. Penerangan baik di dalam maupun di luar masjid sudah cukup. Perpustakaan dan tempat parkir masih terawat,” ujar Aziz.

Menilik sejarah dan kisah yang menyertainya, seharusnya bangunan tua nan megah itu tidak cukup hanya dikagumi. Atau sekadar menjadi tempat yang dibanggakan tanpa dimaknai apa-apa. Hendaknya, bangunan Masjid Azizi mampu menjadi contoh bagaimana berbagai perbedaan budaya bisa hidup berdampingan dengan tenang, bahkan saling menguatkan.

M Isya >> Global | Medan

No comments: