Saturday, February 24, 2007

Anak Cerdas dan Unggul


Jika pada zaman dahulu mewariskan harta yang tak habis selama tujuh turunan dapat membuat orang tua merasa tenang akan masa depan anaknya, maka dewasa ini hal itu telah digantikan pendidikan.
Harta suatu ketika bisa habis, tapi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan tidak akan pernah hilang. Oleh karena itu, banyak orang tua rela berkurban apa saja, asalkan anaknya memperoleh pendidikan yang baik. Dan kalau bisa, sejak sangat dini.

Bicara soal pendidikan anak sebenarnya tidak cukup sebatas menempa kemampuan kognitif, penumpukan pengetahuan, atau sekedar meningkatkan potensi intelegensi atau Intelligence Quotient (IQ). Sosialisasi dan pembentukan Emotional Intelligence (EI) menjadi hal lain yang harus diemban oleh sistem pendidikan. Akan halnya dengan penanaman nilai-nilai yang disertai dengan pemahaman budi pekerti sehingga tujuan utama pengajaran dan pendidikan hingga seorang manusia yang dewasa dan mandiri bisa dicapai.

Dengan demikian dalam belajar seorang anak bukan hanya menghafal, mengingat, dan mengerti teori tapi diharapkan juga mampu mengaplikasikan semua itu dalam kehidupan nyata. Dalam istilah UNESCO belajar itu adalah to know, to do, to be, dan to live together.

Paradigma pendidikan

Antarina SF Amir, Managing Director High/Scope Indonesia mengatakan bahwa semua bentuk pendidikan, baik itu formal maupun informal harus dipersiapkan untuk mendidik seorang individu dalam membuat pilihan dan keputusan – terbak dan terburuk – yang didasarkan atas pengetahuan yang didapat di sekolah, masyarakat, keluarga, teman, atau dari literatur-literatur. Sehingga dengan demikian kedewasaan dan kemandirian seorang individu bisa terwujud.

Lebih jauh ia menerangkan bahwa ada dua paradigma besar yang ada di dalam dunia pendidikan, pertama adalah paradigma behavioristik – yang melihat bahwa proses belajar adalah seperti tingkah laku, jadi harus dilakukan berulang-ulang sampai manusia itu mampu, dan paradigma konstruktivis yang mengatakan bahwa seseorang bisa membangun pengetahuannya sendiri dan bukan dibentuk oleh orang lain.

“Kalau sistem dulu, kita belajar itu gurunya berdiri dan menerangkan, terus diberi latihan. Kalau bisa ikuti apa kata guru berarti kamu berbakat. Hasil dari teori ini academic achievement-nya tinggi, test score-nya tinggi, tapi dia jadi professional yang skilled worker. Kemudian orang mulai beranjak, orang sudah mulai berubah bahwa belajar itu menyangkut investigasi dan bertanya. Jadi anak berbakat menurut teori pembelajaran ini (kontruktivis) adalah kreatif dan produktif. Dan hasil akhirnya menjadi penemu, desainer kreatif dalam bidang science, art dan teknologi, menjadi pemimpin yang inovatif, dan menjadi entrepreneur,” terang Antarina.

Paradigma konstruktivis inilah yang kemudian membuka wacana baru tentang cara belajar yang demokratis di mana antara guru dan murid bisa saling terjadi proses belajar dan mengajar. Guru bukan satu-satunya pemegang otoritas pengetahuan di kelas, anak bisa diberi kemandirian untuk belajar dengan memanfaatkan beragam sumber belajar yang memadai, diberi pengetahuan dan motivasi.

Demokratisasi pembelajaran, yang beberapa waktu lalu dipromosikan melalui pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), telah membawa tantangan baru bagi profesi guru. Menurut Komisi Internasional tentang Pendidikan di Abad ke-21 UNESCO (Delors, 1996) aneka perubahan besar dalam ilmu dan teknologi dewasa berimplikasi pada penyiapan tenaga guru. Di abad ini sumber-sumber informasi telah berkembang pesat di luar sekolah dengan cara yang begitu menarik dan ketika memasuki sekolah siswa sudah memiliki kekayaan informasi itu. Pesan-pesan media yang dikemas dalam bentuk hiburan, iklan, atau berita sungguh menarik para siswa dan ini bertolak belakang dengan pesan-pesan yang dikemas para guru dalam pembelajaran di kelas.

Akibatnya, para guru di abad informasi ini memiliki tugas berat untuk merangsang kembali minat siswa terhadap pesan-pesan pembelajaran yang dilakukan di kelas dengan membuat peristiwa pembelajaran di kelas semenarik kemasan pembelajaran yang dijumpai di luar kelas. (Kompas, 9 Desember 2004)

Tahap pendidikan

Mengingat demikian pentingnya pendidikan, maka perlu kiranya untuk mengetahui tahap-tahap apa saja yang harus dilalui oleh seorang anak dalam pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

“Sekolah yang ideal, waktu TK seorang anak harus dikuatkan kemampuan sosial dan emosional. Boleh diajari baca dan tulis tapi dengan menari atau menyanyi. Di sini juga dipersiapkan kemampuan sosial emosionalnya seperti kepercayaan diri, independensi, inisiatif, bagaimana bersosialisasi dengan orang lain, dan bagaimana mengekspresikan pendapat,” tandas Antarina.

Tahap berikutnya – yaitu pada saat anak duduk di sekolah dasar- mereka akan menerima materi pendidikan yang lebih terstruktur yaitu tentang kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Demikian pula saat masuk ke sekolah menengah (SMP dan SMU), seorang anak perlu diasah kemampuan analisisnya.

“Sampai di perguruan tinggi kita fokus kepada konsep pengambilan keputusan. Keputusan di sini dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita S1, S2, dan S3, itu background ilmu yang akan memengaruhi kita saat mengambil keputusan. Misalnya untuk yang di ekonomi akan berpikir tentang cost dan benefit, supply dan demand. Seorang psikolog mengambil keputusan karena dia melihat dan mempelajari terlebih dahulu tingkah laku seseorang, atau seorang civil engineer yang melihat struktur bangunan,” terang Antarina.

Pada akhirnya, harus diakui bahwa pendidikan memiliki begitu banyak unsure yang saling memengaruhi. Sebut saja kurikulum, proses pembelajaran, sarana dan prasarana, serta hal lainnya. Akan tetapi yang pasti bimbingan orangtua memegang peran sangat penting, termasuk dalam memberikan les atau kursus tambahan pada mereka.

“Kalau materi dari pendidikan ada what dan how. What adalah kurikulum dan how adalah metode. Tapi faktor yang mampu membuat how ini bisa berjalan ada beberapa, antara lain bagaimana membuat suasana antara sekolah dengan rumah itu sejalan, kurikulum, learning method, lingkungan sekolah, faktor dari si anak seperti gizi dan lingkungan. Anak juga jangan terlampau diberi banyak kursus karena mereka butuh waktu untuk dirinya sendiri. Pilih satu atau dua hal yang merupakan power untuk diberi pendalaman itu tidak apa-apa. Tapi jangan ambil semua waktu, karena belajar bukan hanya di dalam kelas, tapi di mana saja, dan kapan saja. Belajar yang paling baik adalah kalau datang dari diri sendiri,” ujar Antarina


Sumber: Harian Kompas

No comments: